18 February 2008

MAPALA BESOK JADI APA YA ?

Kita semua tahu apa yang dimaksud dengan perasaan. Sering kali kita berdiri ditepi pantai saat sang surya terbenam, atau memandangi hijaunya hutan dikejauhan saat matahari terbit, atau indahnya langit saat bintang-bintang bermunculan, lalu kita merasakan hadirnya suatu kekuatan. Pemandangan dan suasana seperti ini membuat keingintahuan kita akan makna keberadaan kita misteri tentang siapakah kita, untuk apakah kita hidup dan apa lagi yang dapat kita raih. Menatap dunia yang jauh didepan menembus batas cakrawala imajinasi.

Detik menit jam hari miggu bulan tahun! Tanpa terasa umur kita didunia ini semakin hari semakin bertambah. Sesaat akan terpikir dibenak kita jadi apa kita nantinya. Apa setelah kuliah ini cita-cita yang diimpikan dapat kita raih, menjadi suatu pertanyaan besar bagi diri kita sendiri. Dan menjadi tugas berat bagi untuk menjawabnya. Dan bila hanya sekedar menjawab tanpa mewujudkannya, ini menunjukkan berarti kita hanya seorang pecundang dan pemimpi.

Setelah kuliah ini, kita keluar dari kehidupan kampus dan dihadapkan dengan dunia luar kampus yang mempunyai permasalahan yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan beberapa masalah yang kita hadapi sekarang. Kita dituntut untuk untuk lebih respek dan lebih sensitif menghadapi perkembangan sekitar. Saat itu kita tidak hanya mementingkan diri kita sendiri namun memikirkan kehidupan keluarga yang telah kita bangun. Secara pribadi yang ada dalam pemikiran hanyalah materi untuk keluarga. Hal ini tidak dapat kita pungkiri.

Dari saat inilih kita sudah harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk menghadapi dunia luar saat meletakkan status diri tidak lagi sebagai mahasiswa. Apa Mapala sebagai Mahasisiwa Pencinta Alam sudah siap untuk hal itu? Menjadi pertanyaan besar lagi bagi kita. Basic kita sebagai orang lapangan yang menjadi pegangan kita untuk menjadi orang yang berhasil.

Cukup banyak masyarakat berpendapat bahwa Mapala hanyalah sebuah organisasi sekedar penyalur hoby dan tidak ada gunanya dimasa yang akan datang. Hal serta pemikiran seperti inilah yang harus kita mentahkan.

Mantan-mantan Mapala besoknya harus jadi pemimpin dan bukan menjadi yang dipimpin.

“STUDENT NOW LEADER TOMORROW”

Yang ada di depan kita dan yang ada dibelakang kita hanyalah sebuah masalah kecil dibanding yang ada di dalam diri kita. Dan bila yang didalam itu kita bawa kedunia luar, keajaiban bisa terjadi. L-BY (0017)

07 February 2008

TITIK KRITIS

Kenapa sich orang ingin masuk goa dan rela berada dalam kondisi gelap gulita?, kenapa juga orang mau masuk jeram dan rela basah kuyup dengan resiko kelelep?, kenapa ada sebagian orang yang mau naik gunung dan rela menahan dingin dan tawar menawar dengan hipothermia? atau pernah lihatkan orang yang memanjat tebing yang tinggi dan berkompromi dengan fear factor dan dehidrasi?, kalau ditanya ke pelakunya ada aja jawaban mereka mulai dari yang paling lugu misalnya ingin menikmati keindahan dari kekuasaan Sang Pencipta sampai ke jawaban yang paling ekstrim misalnya ingin menguji nyali. Jawaban yang terakhir kedengarannya konyol, dan terlalu berani untuk golongan manusia yang hanya memiliki satu nyawa. Pertanyaan selanjutnya, kenapa orang mau menguji nyalinya?, apakah demi sebuah pengakuan bernyali gede? atau demi sejumlah nominal? Mungkin iya dan mungkin ngga’. Tulisan selanjutnya akan mencoba membahas jawaban kaum ekstremist yang kedengarannya aneh itu.

Di dunia petualangan khususnya di dunia Mapala, seringkali kita mendengar kawan-kawan kita atau bahkan kita sendiri melakukan kegiatan tersebut. Dan dilakukan tidak demi sebuah pengakuan atau demi uang, hal itu dilakukan demi program kerja pengurus eh... bukan... maksud saya demi sebuah kepuasan.

Kepuasan disini adalah kepuasan yang sesungguhnya, bukan kepuasan seperti yang kita dapatkan dari makanan yang setelah dimakan akan kita keluarkan dalam bentuk t**k. Kepuasan seperti itu biasanya akan didapat saat kita melewati suatu titik yang sangat menentukan nasib kita kedepan, terkadang pilihan terakhir hidup atau mati. Titik penentu nasib kita kedepan dalam kegiatan alam bebas ini cocoknya diberi nama titik kritis. Saat kita berarung jeram perahunya flip kemudian kita masuk kedalam hole, disini kita berada di situasi kritis penyelesaian yang kita ambil dalam situasi ini sangat menentukan nasib kita, bila kemudian kita bisa keluar dari hole dan memflop perahu kemudian menolong kawan-kawan lain yang masih di jeram situasi ini merupakan situasi yang sangat memuaskan. Atau saat SRT-an di gua yang dalamnya 150 m, ketika ascending kita sudah mencapai ketinggian 90 m, dan jummer kita patah, saat kondisi kritis seperti ini adrenalin kita akan meningkat dan akal sehat akan berubah menjadi rasa panik yang tak tertahankan bisa jadi kita malah pingsan ditengah lintasan, namun bila sedikit lebih tenang dan mengambil langkah yang benar dan cepat, sesampainya di atas kitalah orang yang paling puas dan bahagia didunia ini saat itu, mungkin lebih puas dari Neil Armstrong saat menginjakkan kaki ke bulan atau Christoper Columbus saat menginjakkan kaki di Amerika.

Melewati saat kritis ditengah gejolak adrenalin adalah suatu hal yang sangat memuaskan, walaupun masih banyak orang yang menganggap hal itu adalah pemborosan dan sia-sia. Bikin cape’, resiko tinggi, ngabisin duit dan kegiatan itu buat orang yang kurang kerja’an aja. Sejauh ini begitulah pandangan orang yang terlalu dangkal dan dini terhadap arung jeram, susur gua, panjat tebing, mendaki gunung dll. Mereka lupa akan satu hal yang terlalu mahal untuk dinilai dengan rupiah yang bisa didapatkan dari kegiatan itu. Nolly Lomamay