Mengenal dunia pecinta alam adalah sesuatu yang mengasyikkan, penuh tantangan, penuh persahabatan, lekat dengan berbagai kreatifitas, solidaritas dan kebersamaan, membuka mata kesadaran ita akan kebesaran Tuhan dan mendekatkan kita dengan lingkungan serta memahami arti pentingnya kelestarian alam. Namun itu semua akan kita dapati 8 tahun lalu kebawah (1996, 1995, 1994,...) didunia pecinta alam, lalu bagaimana beberapa tahun setelahnya? Pecinta alam hanya celoteh belaka, tak lebih dari kelompok-kelompok (yang lebih tepat kita sebut) fashion show.
Adalah suatu hal yang cukup ironis ketika pecinta alam yang dulunya selalu menjadi ujung tombak gerakan-gerakan generasi muda yang haus akan perubahan dan selalu identik dengan aktivis lingkungan hidup. Saat ini terlihat semakin jauh dari hakekat yang disandangnya, mereka terlihat bingung, hilang arah dan terkesan mandul, tak mampu lagi menjadi ujung tombak setajam dulu. Kalau dulu rambut gondrong, tampang kumal karena aktif di kegiatan lapangan/lingkungan sekarang rambut gondrong hanya modal agar kelihatan seram dan terkesan bebas, apalagi ditambah anting-anting disana-sini.
Cobalah lihat, kita yang menamakan diri Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam), benarkah kita mahasiswa? benarkah kita pecinta alam? jika iya, berapa persentase kehadiran kita mengikti perkuliahan selama ini? dan berapa persentase kegiatan kita di lingkungan hidup? Kesan yang tertangkap orang awam selama ini, kita yang katanya Mapala justru mahasiswa bukan, pecinta alam juga bukan, lalu kita ini apa? komunitas nongkrong, atau sekelompok gangster kampus?
Kita (baca: Mapala) selama ini terlalu sibuk dengan petualangan-petualangan kita, yang justru banyak membuat tempat tak terjamah (tebing, gunung, gua, dll) dihiasi oleh sampah-sampah kota, kita terlalu sibuk mencari pengakuan dari kelompok lain atau masyarakat lain bahwa siapa kita dan seberapa hebat kita dengan menggelar event-event (ekspedisi misalnya) dengan orientasi petualangan. Mungkin kerangka pikir tentang lingkungan sudah menjadi nomor yang kesekian di otak kita.
Belum lagi lingkungan sekitar kita (dunia mapala) dipenuhi oleh kawan-kawan yang sibuk berpolitik, sibuk mendewakan egonya, bahkan mencari keuntungan pribadi di organisasi yang seharusnya mengharamkan itu semua. Alhasil intrik-intrik kotor, saling curiga dan negative thinking yang lain mewarnaikehidupan organisasi kita.
Lalu kapan kita akan sedikit peduli pada lingkungan jika masih sibuk hantam sana, hantam sini. Sosok Mapala yang dulu dikenal sebagai seorang yang mampu beradaptasi di kondisi dan di lingkungan apapun, dikenal humoris, asyik dalam berteman karena tingkat solidaritasnya tinggi (bukan hanya pada sesama Mapala) kini tak lebih hanya sosok menyeramkan, menyebalkan dan menjengelkan karena suka tak tahu diri (baca: tak tahu aturan) sebagai manifestasi dari penafsiran yang salah tentang kebebasan.
Kapan Mapala akan kembali mampu memberi arti lebih dari sekedar nama yang disandangnya? apakah sampai pohon terakhir kita tebang? atau apakah saat sungai-sungai tak lagi berair jernih?
Jawabnya adalah seberapa cepat kita sadar untuk segerakembali ke hakekat kita sebagai pecinta alam.
Bumi masih terus menangis...
Hutan masih terus merintih...
Lapisan ozon terus dirobek keperawanannya...
Sungai-sungai semakin tercekik pekatnya limbah...
Sementara kita terus tertawa dan bernyanyi...
Berjalan tanpa arah... Uthenk
Adalah suatu hal yang cukup ironis ketika pecinta alam yang dulunya selalu menjadi ujung tombak gerakan-gerakan generasi muda yang haus akan perubahan dan selalu identik dengan aktivis lingkungan hidup. Saat ini terlihat semakin jauh dari hakekat yang disandangnya, mereka terlihat bingung, hilang arah dan terkesan mandul, tak mampu lagi menjadi ujung tombak setajam dulu. Kalau dulu rambut gondrong, tampang kumal karena aktif di kegiatan lapangan/lingkungan sekarang rambut gondrong hanya modal agar kelihatan seram dan terkesan bebas, apalagi ditambah anting-anting disana-sini.
Cobalah lihat, kita yang menamakan diri Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam), benarkah kita mahasiswa? benarkah kita pecinta alam? jika iya, berapa persentase kehadiran kita mengikti perkuliahan selama ini? dan berapa persentase kegiatan kita di lingkungan hidup? Kesan yang tertangkap orang awam selama ini, kita yang katanya Mapala justru mahasiswa bukan, pecinta alam juga bukan, lalu kita ini apa? komunitas nongkrong, atau sekelompok gangster kampus?
Kita (baca: Mapala) selama ini terlalu sibuk dengan petualangan-petualangan kita, yang justru banyak membuat tempat tak terjamah (tebing, gunung, gua, dll) dihiasi oleh sampah-sampah kota, kita terlalu sibuk mencari pengakuan dari kelompok lain atau masyarakat lain bahwa siapa kita dan seberapa hebat kita dengan menggelar event-event (ekspedisi misalnya) dengan orientasi petualangan. Mungkin kerangka pikir tentang lingkungan sudah menjadi nomor yang kesekian di otak kita.
Belum lagi lingkungan sekitar kita (dunia mapala) dipenuhi oleh kawan-kawan yang sibuk berpolitik, sibuk mendewakan egonya, bahkan mencari keuntungan pribadi di organisasi yang seharusnya mengharamkan itu semua. Alhasil intrik-intrik kotor, saling curiga dan negative thinking yang lain mewarnaikehidupan organisasi kita.
Lalu kapan kita akan sedikit peduli pada lingkungan jika masih sibuk hantam sana, hantam sini. Sosok Mapala yang dulu dikenal sebagai seorang yang mampu beradaptasi di kondisi dan di lingkungan apapun, dikenal humoris, asyik dalam berteman karena tingkat solidaritasnya tinggi (bukan hanya pada sesama Mapala) kini tak lebih hanya sosok menyeramkan, menyebalkan dan menjengelkan karena suka tak tahu diri (baca: tak tahu aturan) sebagai manifestasi dari penafsiran yang salah tentang kebebasan.
Kapan Mapala akan kembali mampu memberi arti lebih dari sekedar nama yang disandangnya? apakah sampai pohon terakhir kita tebang? atau apakah saat sungai-sungai tak lagi berair jernih?
Jawabnya adalah seberapa cepat kita sadar untuk segerakembali ke hakekat kita sebagai pecinta alam.
Bumi masih terus menangis...
Hutan masih terus merintih...
Lapisan ozon terus dirobek keperawanannya...
Sungai-sungai semakin tercekik pekatnya limbah...
Sementara kita terus tertawa dan bernyanyi...
Berjalan tanpa arah... Uthenk